sholihah On Minggu, 23 Mei 2010
Masalah hukum mengenakan perhiasan emas yang melingkar bagi wanita diperselisihkan oleh ulama. Ada yang membolehkan dan adapula yang mengharamkan. Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama yaitu dibolehkan bagi wanita untuk mengenakan perhiasan emas tanpa dibedakan bentuknya melingkar ataupun tidak.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz t dalam fatwanya memberikan bantahan terhadap mereka yang berpendapat haramnya wanita mengenakan perhiasan emas melingkar. Antara lain beliau t mengatakan: “Halal bagi wanita untuk mengenakan perhiasan emas, baik bentuknya melingkar ataupun tidak karena keumuman firman Allah  : “Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (wanita) yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam pertengkaran.” (Az-Zukhruf: 18)

Dalam ayat di atas Allah  menyebutkan bahwasanya suka memakai perhiasan itu termasuk salah satu sifat wanita dan perhiasan di sini umum, mencakup emas dan selainnya.

Dan juga dengan hadits yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’i, dengan sanad yang jayyid (bagus) dari Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib z. Beliau mengabarkan bahwa Nabi  pernah mengambil sutera, lalu beliau letakkan di tangan kanannya dan mengambil emas lalu beliau letakkan pada tangan kirinya, kemudian beliau bersabda:
“Sesungguhnya dua benda ini haram untuk dikenakan oleh kaum laki-laki dari kalangan umatku.”

Ibnu Majah menambahkan dalam riwayatnya:
“Namun halal bagi kaum wanitanya.”

Kemudian Asy-Syaikh Ibnu Baaz t membawakan dalil lain yang mendukung pendapat ini berikut ucapan para ulama seperti Al-Baihaqi, An-Nawawi, Al-Hafizh Ibnu Hajar dan selain mereka. Beliau menegaskan: “Adapun hadits-hadits yang dzahirnya melarang wanita mengenakan emas maka hadits-hadits tersebut syadz (ganjil) karena menyelisihi hadits lain yang lebih shahih dan lebih kokoh.”

Di akhir fatwanya beliau t menyatakan tidak benarnya pendapat mereka yang mengatakan dalil-dalil yang melarang pemakaian emas dibawa pemahamannya kepada emas yang melingkar sedangkan dalil-dalil yang menghalalkan dibawa pemahamannya kepada emas yang tidak melingkar, karena di antara hadits yang menghalalkan emas bagi wanita ada yang menyebutkan halalnya cincin sementara cincin itu bentuknya melingkar, ada pula yang menyebutkan halalnya gelang sementara gelang bentuknya melingkar. Selain itu hadits-hadits yang menunjukkan halalnya emas menyebutkan secara mutlak tanpa memberikan batasan bentuk tertentu maka wajib mengambil pemahamannya secara umum.

Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat permasalahan ini dalam Al-Fatawa Kitabud Da‘wah, (1/242-247) oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz atau sebagaimana dinukilkan dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/453-457. Wallahu ta‘ala a‘lam.

sholihah On

Ketahuilah wahai para wanita muslimah, bahwa yang mem-bedakan antara manusia dengan hewan adalah faktor pakaian dan alat-alat perhiasan. Allah berfirman:

Artinya : ‘Hai anak Adam, Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan dan pakaian takwa itulah yang paling baik.’ [Qs. al-A'raaf 26]

Pakaian dan perhiasan itu adalah dua aspek kemajuan dan per-adaban. Meninggalkan keduanya berarti kembali kepada kehidupan primitif yang mendekati kepada kehidupan hewani. Sedang hak milik wanita yang paling utama adalah kemuliaan, rasa malu, dan kehormatan diri. [Lihat Fiqhus Sunnah 2/209 oleh Sayyid Sabiq].

Pakaian dalam Islam bukanlah hanya sekedar hiasan yang menempel di tubuh, tetapi pakaian yang menutup aurat. Dengannya Islam mewajibkan setiap wanita dan pria menutupi anggota tubuhnya yang menarik perhatian lawan jenisnya.

Masalah berhijab (yaitu berbusana muslimah yang menutupi seluruh bagian tubuh dari kepala hingga telapak kaki) bagi wanita muslimah bukanlah masalah sepele lagi sederhana sebagaimana yang banyak disangkakan oleh masyarakat awam, melainkan masalah besar dan substansial dalam agama ini.

Ber-hijab (berjilbab) bukanlah sisa peninggalan adat atau kebiasaan wanita Arab, sehingga wanita non-Arab (wanita Indonesia) tidak perlu menirunya, begitu juga ia bukanlah masalah khilafiah, diperselisihkan ada tidaknya berhijab itu sehingga wanita muslimah bebas mengenakannya atau tidak, tetapi hijab adalah suatu hukum yang tegas dan pasti yang seluruh wanita muslimah diwajibkan oleh Allah untuk mengenakannya.

Allah berfirman :

Artinya : ‘Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ [Qs. al-Ahzab : 59].

Allah berfirman :

Artinya: ‘Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ….’ [Qs. an-Nûr : 31].

Dua ayat di atas telah memberikan batasan yang jelas tentang pakaian yang harus dikenakan

oleh wanita muslimah, yaitu wajib menutup seluruh tubuhnya kecuali apa yang dikecuali oleh syariat (yang dimaksud dalam hal ini adalah wajah dan dua telapak tangan dan ini diperselisihkan oleh ulama). Ketetapan syari’at ini tidak lain adalah untuk melindungi, menjaga, serta membentengi wanita dari laki-laki yang bukan mahramnya.

BERHIJAB ADALAH IBADAH

Ber-hijab adalah ibadah, dengan ber-hijab berarti sang wanita telah telah melaksanakan perintah Allah. Melaksanakan perintah ber-hijab sama dengan melaksanakan perintah shalat dan puasa.

Barangsiapa yang mengingkari kewajiban ber-hijab dengan secara menentang berarti mengkufuri perintah Allah yang dapat dikategorikan sebagai murtad dari Islam. Tetapi jika ia tidak ber-hijab lantaran semata-mata mengikuti situasi masyarakat yang telah rusak – dengan tetap yakin akan wajibnya – maka ia dianggap sebagai wanita yang mendurhakai dan menyalahi perintah Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an :

Artinya : ‘…. dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu …’ [Qs. al-Ahzab : 33].

BELUM MANTAP BERHIJAB

Karena ber-hijab adalah kewajiban dari Allah, maka tidak dibenarkan seorang wanita muslimah menyatakan dirinya tidak mantap atau belum siap ber-hijab. Karena sikap ini berarti mengambil sebagian perintah Allah dan mencampakkan yang lainnya. Padahal Allah berfirman :

Artinya : ‘Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata [Qs.Al-Ahzab: 36]

KESIMPULAN

1. Ber-hijab (berjilbab) itu wajib bagi seluruh wanita muslimah.

2. Ber-hijab yang memenuhi syarat adalah apabila hijab tersebut menutupi seluruh tubuh melainkan kecuali apa yang dikecuali oleh syariat (dan akan datang penjelasan secara lengkap tentang busana muslimah yang sesuai dengan agama).


Sumber: http://alikhlash.wordpress.com/2009/01/01/hukum-berhijab-berjilbab/

sholihah On


Makalah singkat ini menyajikan beberapa karakter perempuan sholihah yang diungkapkan beberapa ayat al-Quran. Pengungkapan ayat-ayat ini dikaitkan dengan upaya pembangunan keluarga yang diliputi suasana tentram, cinta kasih dan sayang atau keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah (samara) sebagaimana diungkapkan pada ayat:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. 30:21)

Ayat-ayat yang digunakan sebagian terkait langsung dengan posisi perempuan sebagai istri. Sebagian ayat lain tidak terkait langsung dengan posisi perempuan sebagai istri, akan tetapi bila kita telusuri lebih jauh, ayat-ayat ini berkaitan secara tidak langsung dengan posisi istri, semisal pengungkapan ayat-ayat terkait kisah Ratu Bilqis pada surat an-Naml atau ayat-ayat yang menggambarkan sifat para bidadari di surga. Insya Allah ayat-ayat ini akan diungkapkan dalam kerangka mengungkapkan karakter istri sholihah.

Untuk memudahkan pengkajian, penulis mengelompokkan ayat-ayat untuk menggambarkan karakter istri sholihah dalam tiga profil, yaitu:

Profil Kekasih
Profil Ibu
Profil Sahabat

1. Profil Kekasih

1.1. Taat kepada Allah

Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Rabbnya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (QS. 66:5)

Menurut Muhammad Qutb, secara khusus ayat di atas merupakan pembelajaran bagi istri-istri Nabi, tentang makna kemuliaan sebagai istri di hadapan Allah swt. Akan tetapi orang beriman mendapatkan limpahan kerunia karena dapat mengambil pelajaran berharga dari pengajaran Allah ini.

Seorang perempuan sholihah itu pertama kali disifati dengan karakter ketaatannya kepada Allah swt. Mengapa kita menempatkan ketaatan kepada Allah ini sebagai karakter utama seorang kekasih? Jawabannya karena sebagai kekasih seorang itu mesti memelihara kecantikannya. Dan kecantikan hakiki seorang perempuan itu adalah pada ketaatan kepada Allah swt. Ini adalah puncak kecantikan batin, sebagaimana digambarkan Ibnul Qayyim. Dan kecantikan batin ini akan memperindah dan menyempurnakan kecantikan lahir.

Ketaatan kepada Allah diwujudkan dalam keimanan dan mewujudkan keyakinannya ini dalam amal perbuatan, taat terhadap semua aturan yang Dia tetapkan bagi perempuan muslimah, yang cepat menyadari kekeliruan dengan bertaubat, yang rajin beribadah, berpuasa dan senantiasa menjelajah kerajaanNya, ciptaanNya dan tanda-tanda keesaanNya dan kebenaran pengaturanNya di alam semesta. Inilah cakupan yang amat menyeluruh dari sifat keislaman bagi muslimah sholihah.

Diantara ketaatan praktis kepada Allah swt yang saat ini banyak ditinggalkan perempuan muslimah adalah berbusana menutup aurat (QS an Nuur:31 dan al-Ahzab:59). Ini merupakan fitnah yang amat serius, sebab Rasulullah saw pernah menegaskan,”Orang-orang perempuan yang berpakaian tetapi seperti telanjang, meliuk-liukan badannya dan rambutnya disasak, mereka tidak akan masuk surga, juga tidak akan mencium baunya surga, padahal bau surga itu dapat tercium dari jarak amat jauh.” (HR. Muslim)

1.2 Taat kepada Suami

Perempuan yang sholihah, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri 289 ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) 290 (QS. 4:34)

289: Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.

290: Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.

Rasulullah saw menyampaikan,”Jika seorang istri itu telah menunaikan shalat lima waktu, shaum di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya,dan taat kepada suaminya, maka akan dipersilakan kepadanya: masuklah ke Surga dari pintu mana yang kamu suka." (HR Ibnu Hibban, al-Bazzar, Ahmad dan Thabrani, Albani menyatakan keshahihannya).

Pada pengajarannya yang lain, Rasulullah saw berkata,”Perempuan mana saja yang meninggalkan dunia sementara suaminya meridhainya pasti masuk Surga." (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sebaliknya kedurhakaan kepada suami akan mendatangkan kutukan dari Allah, para malaikat dan segenap manusia. Cukuplah pelajaran yang terdapat pada surat at-Tahrim menjadi peringatan bagi kaum muslimah.

Diantara sikap taat para istri kepada para suami adalah meminta ijin kepada suami jika hendak keluar rumah (tidak keluar rumah kecuali dengan ijin suami), tidak meminta bercerai tanpa alasan yang dibenarkan syariah, menjaga kesopanan dan kehormatan saat keluar rumah, tidak mengeraskan suara melebihi suami, tidak membantah suaminya dalam kebenaran, dan tidak menerima tamu yang dibenci suaminya ke dalam rumah, apalagi bermesraan dengan lelaki lain.

1.3. Lembut dan Pemalu

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami" … (QS. 28:25)

Al Quran yang merupakan kalam Allah tak pernah menyampaikan sesuatu yang sia-sia. Begitu pula dengan disampaikannya sifat malu-malu pada ayat di atas, tentulah tersimpan hikmah untuk menggambarkan kemuliaan sifat perempuan.

Malu sendiri adalah bagian dari iman. Bahkan sebuah hadits pada Kumpulan 40 Hadits an-Nawawiy mengungkapkan: “Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan.” Penafsiran hadits ini paling tidak ada dua. Pertama, malu menjadi parameter apakah sebuah perbuatan layak dilakukan atau tidak. Kedua, orang yang rendah rasa malunya, akan melakukan apapun yang dia mau.

Sifat pemalu ini menunjukkan kemuliaan dan penjagaan kemuliaan dirinya. Bahkan sifat sopan dan pemalu ini dijadikan daya tarik pada bidadari, sebagaimana disebutkan pada ayat-ayat berikut:

Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya …(QS. 55:56)

Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik. Maka ni'mat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah. (QS. 55:70-72)

1.4. Pencinta

Rasulullah saw bersabda,”Dunia ini perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan yang shalihah.” (HR Muslim). Kata perhiasan terkait dengan makna keindahan. Seorang perempuan shalihah senantiasa menjaga daya tarik dirinya bagi suaminya. Isyarat tentang para bidadari menggambarkan keindahan dan keadaan penuh cinta pada mereka.

Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. (QS. 56:22-23)

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung 1452, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya, (QS. 56:35-37)

1452: Maksudnya mereka diciptakan tanpa melalui kelahiran dan menjadi gadis.

Rasulullah saw mengisyaratkan keadaan istri terbaik,”Istri yang paling baik adalah, bila suami memandang kepadanya memberikan kebahagiaan; Bila menyuruhnya, mentaatinya.; Bila sang suami bepergian, ia menjaga dirinya dan hartanya." (HR An-Nasai dan dishahihkan oleh al-Iraqi).

Istri shalihah senantiasa menyenangkan hati suaminya dan menjaga suasana mesra tetap bersemi dalam keluarga. “Sesungguhnya apabila seorang suami menatap istrinya dan istrinya membalas pandangan (dengan penuh cinta kasih), maka Allah menatap mereka dengan pandangan kasih sayang. Dan jika sang suami membelai tangan istrinya, maka dosa mereka jatuh berguguran di sela-sela jari tangan mereka." (HR Maisaroh bin Ali dari Abu Said bin al-Khudri).

Saat ini para suami dihadapkan pada godaan besar di sisi hubungan intim pria-wanita. Banyak perempuan yang secara sadar atau tidak telah menjadi penggoda kaum pria baik langsung ataupun tak langsung. Maka menjadi salah satu tanggung jawab mulia bagi para istri untuk membantu para suami mencurahkan cinta mereka pada sesuatu yang halal. Di sinilah makna larangan bagi para istri menolak ajakan para suami, seperti tercatat dalam pengarahan Rasulullah saw berikut ini:

“Bila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu ia menolak sehingga suaminya semalaman marah kepadanya, maka malaikat mengutuknya hingga pagi." (Muttafaqun alaihi)

Jadi hadits ini mesti ditempatkan dalam kerangka menjaga hubungan mesra dan cinta; Bukan menempatkan perempuan dalam posisi tertekan dan terpaksa dalam menjalankan hubungan intim suami-istri.

2. Profil Ibu

2.1. Memiliki Visi Pendidikan untuk Mengabdi kepada Allah

Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk". (QS. 3:35-36)

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS. 46:15)

Ayat-ayat di atas mengajarkan agar para Ibu muslimah menjadikan visi terbesar pendidikan anak untuk menjadikan mereka para hamba Allah yang senantiasa berkhidmat kepada Allah swt. Kesuksesan utama orang tua dalam pendidikan anak adalah manakala mereka menjadi orang-orang yang pandai bersyukur kepada Allah.

Sikap syukur ini menyiratkan kebaikan-kebaikan mereka terhadap sesama manusia. Sebab syukur dalam makna yang luas berarti memanfaatkan segala kebaikan Allah swt untuk mentaatiNya. Artinya berbagai perbuatan kebajikan adalah perwujudan terima kasih kita kepada Allah. Dalam kerangka berpikir ini kita menemukan pentingnya pendidikan bagi anak, sebab pendidikan lah yang akan membuat seorang manusia memiliki karakter atau akhlak mulia.

Untuk itu seorang Ibu dituntut melengkapi wawasan dan pengetahuannya untuk mendidik anak-anak. Diantara pengetahuan mendasar bagi anak-anak adalah:

* Dalam sisi keagamaan: tilawah Quran (serta pemahamannya pada hal-hal mendasar) dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw, keluarga dan para sahabatnya ra. Pengetahuan dasar keagamaan ini akan menjadi fondasi bagi kekokohan aqidah dan akhlak.

* Dalam sisi pengetahuan dan keterampilan umum: komunikasi-berbahasa (termasuk sastra), logika-matematika, pengetahuan sejarah dan musik-bernyanyi.

2.2. Memiliki Keyakinan Kuat terhadap Janji Allah

Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. (QS. 28:7)

Dalam menghadapi berbagai tantangan jaman, seorang Ibu mesti senantiasa optimis, bahwa Allah akan menolong mereka mendidik anak-anaknya menjadi manusia berguna di masa depan. Sikap teguh Ibunda Nabi Musa sebagaimana digambarkan pada surat al-Qashash menjadi teladan utama dalam bersikap yakin akan bantuan Allah swt ini.

Ibu Musa ditakdirkan melahirkan anaknya dalam kondisi amat berat, yaitu ketika Firaun, penguasa yang amat zhalim saat itu, mengeluarkan perintah untuk membunuh anak laki-laki yang lahir dari kalangan Bani Israil, karena alasan ketakutan akan runtuhnya kerajaannya. Akan Allah swt memerikan keteguhan kepada Ibu Musa dan dengan dibantu oleh kakak perempuan Musa, Ibu Musa berhasil melalui masa-masa sulit tersebut untuk melindungi dan memelihara Musa.

Kisah di atas menjadi pelajaran berharga bagi para ibu muslimah. Saat ini tantangan yang dihadapi dalam mendidik anak-anak amat besar. Kita dihadapkan pada berbagai tantangan dalam mendidik anak-anak, mulai dari seleksi pendidikan yang berkualitas, tantangan finansial, tantangan lingkungan hingga tantangan pada diri kita sendiri. Untuk tantangan lingkungan, kita menyaksikan banyaknya “polusi” berita dan informasi tentang kekerasan atau tindakan a-susila baik dalam bentuk tulisan ataupun tayangan-tayangan audio visual.

Dalam kondisi ini peran para Ibu amatlah besar untuk menjaga anak-anak agar tumbuh pada fitrah kesuciannya. Modal paling besar bagi para Ibu adalah kedekatan dengan Allah swt, memahami pengarahan (taujih) dan pengajaran dari Allah swt melalui al-Quran dan sunnah NabiNya. Untuk itu para Ibu hendaknya senantiasa mengadakan pengkajian yang mendalam terhadap dua sumber utama ajaran Islam ini

Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (QS. 33:34)

2.3. Penuh Suka Cita dalam Mendidik

Dan berkatalah istri Fir'aun: "(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfa'at kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak", sedangkan mereka tiada menyadari. (QS. 28:9)

Sikap kasih sayang kepada anak-anak adalah fitrah yang Allah berikan kepada para Ibu untuk mendidik anak-anak mereka. Selama fitrah ini terjaga baik, seorang Ibu akan menjadikan perhatian pada anak sebagai perhatian terbesar dalam hidupnya. Kisah jatuh cintanya Asiyah istri Firaun kepada bayi Musa diabadikan al Quran untuk menggambarkan fitrah ini. Padahal Musa bukanlah anak kandungnya sendiri. Hendaknya sikap kasih sayang ini terus menyertai proses pendidikan anak.

Satu tantangan yang dihadapi para Ibu masa kini adalah tarikan untuk berkarir dan mencari penghasilan yang besar. Tarikan ini terjadi karena struktur sosial-ekonomi-masyarakat yang “memaksa” sebagian ibu-ibu untuk bekerja mencari nafkah. Padahal di dalam ajaran Islam, kewajiban mencari nafkah ini ada pada pundak para bapak. Motivasi lain adalah karena adanya kelemahan pola hubungan suami-istri. Sebagian istri merasa khawatir dirinya direndahkan oleh suami apabila tidak memiliki penghasilan sendiri. Tentu saja kondisi ini pun tidak seharusnya terjadi dalam keluarga muslim, sebab ajaran Islam telah memerintahkan para suami untuk bersikap kasih sayang dan adil dalam memimpin rumah tangga. Yang patut diwaspadai adalah ketika kaum perempuan justru sangat menikmati karirnya, sehingga meletakkan masalah pendidikan dan kasih sayang kepada anak pada prioritas ke sekian dibandingkan karirnya. Bahkan misalnya pada sebagian kalangan perempuan ada pandangan bahwa memiliki anak itu akan mengganggu karir mereka.

3. Profil Sahabat (Mitra)

3.1. Pencari Kebenaran

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat 1462. (QS. 58:1)

1462: Sebab turunnya ayat ini adalah berhubungan dengan persoalan seorang wanita yang bernama Khaulah binti Tsa'labah yang telah didzihar oleh suaminya Aus bin Shamit, yaitu dengan mengatakan kepada isterinya: "Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku", dengan maksud dia tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah kalimat seperti itu sudah sama dengan menthalak isteri. Maka Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw menjawab bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah. Dan pada riwayat yang lain, Rasulullah saw mengatakan: "Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia". Lalu Khaulah berkata: "Suamiku belum menyebut kata-kata thalak". Kemudian Khaulah berulang-ulang mendesak Rasulullah saw agar menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya.

Seorang muslimah hendaklah terus bersemangat mencari dan menegakkan kebenaran sebagaimana ditunjukkan pada contoh sahabiyah Khaulah binti Tsalabah ini. Dengan demikian ia akan menjadi partner diskusi yang handal bagi suaminya.

3.2. Memiliki Kriteria Tepat tentang Pendamping Hidup

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. 28:26)

Menilik ayat di atas, sepertinya karakter ini berlaku bagi mereka yang belum menikah. Ayat di atas mengungkapkan kalimat putri seorang yang sholih di negeri Madyan, negeri tempat Musa muda melarikan diri dari kejaran Firaun. Sebagian penafsir mengatakan orang sholih ini adalah Nabi Syu’aib as. Begitulah gambaran seorang gadis yang cerdas dan sholihah menginterpretasikan sifat baik seorang pemuda. Ia tempatkan gejolak curahan hatinya mencari pasangan hidup, sekaligus melindungi posisinya dari kemestiannya bekerja dengan saudara perempuannya, karena sang ayah telah lanjut usia. Sang ayah pun memahami rahasia yang disembunyikan anak gadisnya. Setelah berbincang dengan Musa, ia menawari Musa untuk bekerja di tempatnya, dan ia berjanji akan menikahkan Musa dengan putrinya (kisah ini ada pada rangkaian ayat di atas, sebelum dan sesudahnya)

Akan tetapi bagi para muslimah yang telah menikah pun kisah di atas mengungkap pelajaran berharga. Perhatikanlah, perempuan sholihah meletakkan parameter lahir dan batin secara seimbang dalam berinteraksi dengan pasangan hidupnya. Maka semestinya apresiasi seorang istri kepada pasangannya pun selalu seimbang diantara sisi fisik dan psikis. Dalam kehidupan berumah tangga ini dapat diterjemahkan dalam bentuk perhatian pada pola makanan, pola istirahat, olah raga dan juga pada pola pendidikan serta pola ibadah ritual yang senantiasa mewarnai kehidupan suami-istri. Semakin panjang usia pernikahan, semakin terasa kebutuhan untuk saling mengingatkan dalam menjaga kondisi prima fisik dan psikis.

3.3. Kesetaraan di Hadapan Allah

Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Rabb semesta alam". (QS. 27:44)

Ketika Ratu Balqis telah menyaksikan kerajaan besar yang Allah karuniakan kepada Nabi Sulaiman as dan mengetahui siapakah yang benar-benar harus disembah di muka bumi ini, sadarlah ia bahwa ternyata perbuatannya dan kaumnya (di antaranya menyembah matahari) adalah perbuatan yang zhalim. Akan tetapi perhatikanlah, Ratu Bilqis tidak pernah menyatakan ketundukan kepada Sulaiman. Yang ia ucapkan adalah bahwa ia bersama Sulaiman tunduk patuh, berserah diri kepada Allah swt.

Dari ayat ini kita mendapatkan taujih Rabbani (pengarahan Ilahi), bahwa kedudukan kaum perempuan dan kaum lelaki di hadapan Allah swt itu sama, yaitu sebagai hamba. Islam telah memuliakan kedudukan kaum perempuan. Untuk itu kaum muslimah hendaknya senantiasa menjaga kemuliaan ini dan bahu-membahu bersama para suami mereka dalam menegakkan kebenaran.

3.4. Berkontribusi Aktif dalam Kerja Sosial dan Da’wah

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min 1219, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta'atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. 33:35)

1219: Yang dimaksud dengan "orang muslim" di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud "orang yang mu'min" di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.

Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain 259. (QS. 3:195)

Sebab turunnya dua ayat di atas terkait langsung dengan kehidupan para muslimah di masa kehidupan Nabi Muhammad saw. Ayat pada surat al Ahzab turun karena adanya ucapan Ummu ‘Imarah al-Anshari kepada Rasulullah saw,”Kami menyaksikan segala sesuatu (terkait ajaran Islam) hanya bagi lelaki dan kami tidak melihat kaum perempuan disebut-sebut.” (diriwayatkan at-Tirmidzi melalui Ikrimah). Atau melalui Ibnu ‘Abbas diriwayatkan bahwa para muslimah berkata kepada Nabi saw,”Ya Rasulullah, mengapa hanya disebutkan kaum beriman lelaki dan tidak disebutkan kaum beriman perempuan?” (diriwayatkan ath-Thabrani). Sedangkan pada riwayat lain dikabarkan bahwa para muslimah menanyakan mengapa hanya para istri Nabi yang disebutkan. Mereka berkata,”Kalaulah pada kami ada kebaikan, tentu kami disebutkan.” Maka Allah swt menurunkan ayat di atas. (diriwayatkan Ibnu Sa’ad dari Qatadah)

Adapun untuk ayat pada akhir surat Ali ‘Imran, diriwayatkan bahwa Ummu Salamah berkata,”Ya Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan dalam peristiwa Hijrah sedikitpun.” Maka Allah swt menurunkan ayat tersebut. (diriwayatkan oleh Abdur Razaq, Said bin Manshur, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ibnu Abi Hatim).

Setelah kita ketahui konteks sosial sebab turunnya, ayat-ayat di atas semakin meneguhkan adanya peran sosial dan da’wah yang penting dari kaum perempuan sejak masa pertama turunnya ajaran Islam. Ini berlaku bagi semua perempuan. Mereka tidak kalah dengan kaum lelaki dalam melakukan seluruh aktifitas kehidupan, mulai yang sifatnya ibadah ritual hingga aktifitas sosial dalam rangka memperbaiki kondisi masyarakat.

WaLlaahu a'lamu bish shawwab.


sumber : http://rumahfahima.org/index.php/keislaman/208-melacak-karakter-istri-sholihah-dalam-al-quran

sholihah On
Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, di antaranya :

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah : 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman : 56)

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman : 58)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah : 35-37)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau :

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Di antara yang didendangkan oleh mereka : “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan : “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Di antara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah :

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. IHSAN,
Yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.

5. IKHLAS
Beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.

7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.

12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

14. Berbakti kepada kedua orang tua.

15.Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’ : 13)

Wallahu A’lam Bis Shawab.